KARAKTERISTIK BAHASA
Uraian
tentang hakikat bahasa sebenarnya sudah memberikan gambaran tentang
karakteristik bahsa.dalam urian bentuk ditegaskan secara lebih eksplisit
tentang karakteristik bahsa itu.
Para
ahli bahasa pada umumnya memberikan hakikat bahasa dengan menyajikan
karakteristiknya, di samping dengan menyajikan definisinya. Hal yang itu dapat
di pahami karena definisi tidak dapat memberikan perian yang konkret sehingga
hakikinya juga tidak tampak secara jelas. Pemahaman suatu entitas menjadi sempurna
melalui karakteristik entitas itu.
Beberapa karakteristik bahsa dapat disebutkan
disini (1) oral, (2) sistematis, (3) arbitrar, (4) konvensional, (5) unik dan
universal, (6) beragam, (7) berkembang, (8) produktif, (9) fenomena sisoal, dan
(10) bersifat insani. Tentu tidak tertutup kemungkinan itu dipandang sudah
memberikan pemahaman yang jelas tentang bahasa.
1.
Oral
ciri bahawa bahasa adalah
bunyi adalah wajar mengingat kenyataan bahwa pengalaman berbahasa yang paling
umum pada manusia adalah berbicara dan menyimak. Kehadiran bunyi bahsa lebih
dulu daripada kehadiran tulisan. Sehubung dengan itu, Bloomfield (1979)
menyatakan bahwa bahsa pada hakikatnya adalah lisan (oral).
Tulisan atau sistem tulisan
hanyalah mampu mewakilisebagian dari isyarat penting yang terdapat dalam
ucapan. Bahkan sistem tulisan bisa mewakili bunyi yang berbeda. Dalam bahasa
indonesia, misalnya, tulisan teras dapat mewakili teras [t ras] ‘penting’ dan teras
[teras] ‘bagian depan rumah’. Tulisan dalam bahsa inggris dapat mewakili
bunyi apikoalveolaraspirat [th]. Tulisan t itu dalam bahasa indonesia hanya
mewakili bunyi konsonan apikoalveolar [t] saja. Jadi, tulisan pada hakikatnya
merupakan gambar bunyi yang tidak secara sempurna mewakili bahasa yang
diwakilinya.
2.
Sistematis, Sistemis, dan Komplit
bahasa memiliki sifat
sistematis, yang berarti bahwa dalam bahasa itu terdapat
aturan atau kaidah. Beroperasinya bahasa selalu
terikat pada aturan-aturan atau kaidah-kaidah bahasa yang berlaku. Karena itu
pula dapat dikatakan bahwa bahasa itu teratur.
Sifat
sistematis itu dapat pula diartikan bahwa sejumlah satuan bahasa yang terbatas
hanya dapat berkombinasi dalam sejumlah cara yang terbatas. Dalam bahasa
indonesia, misalnya terdapat prefiks ber-
yang dapat berkombinasi dengan verba. Akan tetapi, tidak selalu kombinasi
antara prediks ber- dan verba akan
selalu menghasilkan bentukan yang gramatikal.
Contoh-contoh
berikut memberikan bukti bahwa hal itu bener.
(1)
berlari
(2)
berkelahi
(3)
* bersembelih
(4)
* berlihat
Contoh-contoh tersebut
memberikan bukti bahwa ber- tidak dapat berkombinasi dengan verba sembelih dan lihat.
3.
Arbitrar dan Simbolis
Ciri arbitrar ini tampak pada
hubungan antara lambang dan yang dilambangkan dalam pengertian bahwa ada
hubungan langsung antara lambang dan yang dilambangkan. Dalam bahasa indonesia
kata pencuri melambangi ‘orang yang
berpotensi mengambil milik orang lain tanpa minta izin dan tanpa setahu
pemiliknya’. Tidak dapat dinalar mengapa lambang yang digunakan adalah kata pencuri, dan bukan perampok, pengambil, atau pembajak.
Pelamabang seperti itu dalam bahasa inggris disebut thief. Mengapa pelambangannya demikian tidak dapat dijawab karena
tidak ada hubungan logis antara lambang dan yang dilambangkan itu.
Dalam objek atau pengalaman
yang mana pun tidak didapati sifat-sifat yang berpautan yang menuntut kita
untuk melekatkan lambang-lambang verbal pada objek dan pengalaman itu. Kita
menggunakan kata “burung” untuk menunjukan binatang vertebrata yang bersayap
dan bertelur. Orang inggris menggunakan kata bird; orang arab: teorun; orang
jawa/sunda: manuk; orang belanda: vogel.
Lambang-lambang bahasa itu
menggambarkan objek-objek yang konktet, berbagi kegiatan, pengalaman, dan
gagasan. Kata-kata itu hanyalah merupakan lambang-lambang benda nyata.
Sifat-sifat simbolis yang dimiliki bahas itu memungkinkan kita mengabstraksikan
ide-ide dan pengalaman, berbicara dengan Grand Canyon, Kutub Utara, Arafah,
bahkan tentang surga dan neraka, meskipun kita belum pernah mengalaminya secara
langsung.
Pelambangan secara terurai di
atas bersifat individual. Tidak ada peluang bagi setiap individu untuk
menciptakan bentuk satuan bahasa sekehendaknya. Sifat arbitrar itu hanya
berlaku dalam bentuk kesepekatan atau konvensi. Jadi, masyarakat berbahasalah
yang secara sewenang-wenang menentukan lambang-lambang dalam bahasa dan
menentukan pula maujud yang dilambangkan oleh lambang-lambang itu.
Lambang-lambang yang dapat
dihubungkan dengan alam atau peristiwa alam sering digunakan orang untuk
membantah sifat arbirarnya bahasa itu. Kata-kata ironis dalam anomatopetis
seperti cecak, tokek, cicit, dan koko dalam bahasa indonesia, atau
kata-kata seperti keplak, gebug, dan cemeng dalam bahasa jawa merupakan
kata-kata yang berhubungan dengan alam atau peristiwa alam. Akan tetapi, hal
itu tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk menyatakan bahwa lambang dan
yang dilambangi itu memiliki hubungan logis. Di samping jumlahnya sangat
terbatas (Kridalaksana, 1983), peristiwa alam yang sama tidak selalu
menghasilkan lambang yang sama. Dari peristiwa alam bunyi letusan tembakan
lahir kata tam dalam bahasa Belanda
dan Inggris. Dalam bahasa Indonesia bukan kata tam yang muncul, melainkan kata dor.
Dari peristiwa bunyi kucing lahir kata meauw
dalam bahasa Inggris dan kata meong
dalam bahasa Jawa. Mengapa dari peristiwa alam yang sama lahir kata-kata yang
berbeda atau lambang-lambang yang tidak sama. Jawabannya jelas, yakni
arbitrar:tetap tidak dapat dijelaskan mengapa begitu.
4.
Konvensional
Seperti telah disinggung pada
butir 3 di atas bahawa sifat arbitrar itu berlaku secara sosial, tidak secara
individual. Sifat itu merupakan hasil kesepakatan masyarakat. Karena itulah
bahasa dapat disebut bersifat konvensional, sebagai sifat hasil kesepakatan itu
bukanlah formal yang dinyatakan melalui musyawarah, sidang, rapat, atau kongres,
atau rapat raksasa, untik menentukan lambang tertentu.
Walaupun forum formal tidak
ada, dan harus tidak ada, setiap pemakai bahasa harus tunduk kepada kesepakatan
atau konvensi. Disadari atau tidak, pemakai bahasa sudah melakukan hal itu.
Pelambangan yang menyimpang menyebabkan bahasa yang digunakan seseorang menjadi
tidak komunikatif.
5.
Unik dan Universal
Setiap
bahasa memiliki ciri khasanya sendiri yang tidak terdapat pada bahasa lain.
Dengan kata lain, setiap bahasa memiliki ciri-ciri yang diskrit, yang
memberikan identitas diri sebagai bahasa yang berbeda dari yang lain. Kata
ulang dwiwasana, misalnya, merupakan ciri khas yang terdapat dalam bahsa
madura, seperti kata lon-alon, nak-kanak,
reng-oreng dan lain-lain. Keunikan itu akan tampak pada semua dengan jumlah
dan jenis vokal dalam bahsa lain. Dalam bahasa Inggris, misalnya, terdapat
bunyi /O/ seperti pada kata think dan
thank yang tidak terdapat dalam
bahasa Indonesia.
Di samping
memiliki ciri yang unik, bahasa atau setiap bahasa memiliki ciri-ciri yang
universal, yaitu ciri-ciri yang berlaku pada semua bahasa. Misalnya, pada
setiap bahasa terdapat unsur bunyi yang terpilih menjadi dua, yakni vokal dan
konsonan. Bunyi-bunyi pada setiap bahasa akan dipengaruhi oleh lingkungan
distribusinya. Bunyi-bunyi bahasa itu bersifat simetris. Setiap bahasa memiliki
satuan-satuan gramatika, seperti morfem, kata, frase, klausa, dan kalimat. Dari
segi jenis kalimat. Setiap bahasa memiliki jenis kalimat berita, kalimat tanya,
dan kalimat perintah.
Ciri-ciri
universal bahasa telah mendapatkan perhatian khusus dalam linguistik.
Linguistik yang mengadakan kajian ciri-ciri bahasa yang bersifat universal itu
disebut linguistik universal.
6.
Beragam
Perwujudan bahasa tidaklah
monolitik, satu maujud yang menunjukkan keseragaman. Dengan kata lain, bahasa
itu beragam.
Ragam bahasa bermacam-macam
bergantung pada dasar klasifikasinya. Berdasarkan masyarakat pemakainya
terdapat ragam yang disebut sosiolek. Berdasarkan klasifikasi itu terdapat
ragam bahwa masyarakat terdidik, ragam bahasa petani, dan lain-lain. Isitilah
sosiolek itu sebenarnya kurang begitu populer, dan Samsuri (1982:17) menyebut
ragam bahsa yang demikian itu sebagai dialek. Jadi, menurut Samsuri terdapat
dua kategori dialek, yakni dialek berdasarkan wilayah/daerah pemakainya dan
dialek bedasarkan kelompok masyrakat pemakainya. Pada umumnya. Istilah dialek dikenakan pada ragam bahasa
didasarkan wilayah pemakainya.
Berdasarkan kebakuannya, ragam
bahasa dapat dikategorikan menjadi dua, yakni ragam baku dan raham subbaku.
Pembagian ragam demikian itu antara lain diterapakan oleh Moeliono (1985).
Salah satu aspek yang diperlihatakn oleh Moeliono adalah subsistem konsonan
dalam bahasa Indonesia yang berdampingan. Subsistem yang pertama berlaku untuk
ragam baku dan subsistem yang kedua berlaku untuk ragam subbaku. Kedua
subsistem itu merupakan subsistem pokok dalam sistem konsonan bahasa Indonesia.
Bahasa juga beragam karena
tingkat formalitas pemakaiannya. Menurut Joss, seperti yang dikutib Nababan
(1979:11), ragam bahasa yang didasarkan tingkat formaitas pemakaiannya dapat
digolongkan menjadi 5 macam, yaitu (1) ragam beku (frozen), (2) ragam resmi (formal),
(3) ragam usaha (consultative), (4)
ragam santai (casul), (5) ragam akrab
(intimate), dengan penjelasan
masing-masing berikut ini.
1) Ragam beku merupakan ragam yang paling
resmi yang dijumpai dalam situasi-situasi yang khidmat dan upacara-upacara yang
sangat resmi. Sesuai dengan namanya, ragam beku itu tidak boleh diubah-ubah.
Ragam beku itu dapat dilihat pada dokumen-dokumen bersejarah, seperti dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945. kalimat pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
itu, misalnya, yang diredaksikan dangan “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu
adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia
harus di hapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusian dan peri keadilan.”
Tidak dapat diganti dengan “Kemerdekan itu adalah hak semua bangsa dan karena
itulah semua wujud penjajahan harus dihapuskan”.
2) Ragam resmi merupakan yang digunakan dalam
situasi-situasi resmi, situasi-situasi kedinasan suatu lembaga. Misalnya, ragam
bahasa yang digunakan oleh presiden dalam rapat atau sidang DPR/MPR.
3) Ragam usaha merupakan ragam bahasa yang
digunakan pada konteks usaha, seperti pembicara-pembicara di sekolah,
perusahaan-perusahaan, transaksi-transaksi, dan lain-lain.
4) Ragam santai merupakan ragam bahasa dalam
situasi santai antarapersona yang sudah akrab, seperti ragam bahasa yang
digunakan sewaktu berekreasi, berolah raga, dan lain-lain.
5) Ragam akrab merupakan ragam bahasa yang
dipergunakan dalam situasi-situasi yang sangat akrab (intim), seperti ragam
bahasa yang dipergunakan di lingkungan keluarga, atau antarpersona yang tingkat
hubungannya sudah seperti keluarga. Ragam bahasa ini tidak diwujudkan dalam
bentuknya yang lengkap dengan artikulsi yang jelas. Kelimat-kalimatnya cukup
yang pedek-pendek.
Perbedaan-perbedaan di antara
ragam-ragam tersebut tampak pada berbagi tataran bahasa. Perbedaan-perbedaan
itu tampak pada pilihan kata, bentuk kata, bentukan kalimat, prosodi, dan
bahkan tampak pada wujud-wujud kinesis penuturnya. Gaya santai, misalnya,
merupakan gaya yang digunakan oleh penutur ketika dia menggunakan ragam santai.
7.
Berkembang
Karakter ini berlaku pada bahasa yang masih hidup,
seperti bahasa Indonesia, bahasa Banjar, bahasa Inggris, bahas Prancis, bahasa
Madura, dan lain-lain. Bahasa Indonesia lama (melayu) tidak mengenal bunyi [F]
sehingga terbentuklah kata-kata paham,
bukan faham, kata pebruari, bukan februari, dan kata aktip,
bukan aktif. Dalam bahasa Jawa kama
tidak terdapat bunyi [z] dan karena itu setiap bunyi [z] yang berasal dari
bahasa lain, seperti zakat yang
berasal dari bahasa Arab akan menjadi jakat.
Bahasa Jawa baru sudah mengenal bunyi [z] itu sehingga sekarang terdapat
kata-kata zakat, mukjizat, dan lain-lain.
Perkembangan
yang sangat mencolok terdapat pada unsur leksikon. Kata-kata seperti sempadan, dampak, kiat, pajan, dan senarai merupakan kata-kata yang
menunjukan perkembangan leksikon dalam bahasa Indonesia, walau di antara
kata-kata itu dulu pernah ada pada bahasa Indonesia atau bahasa Melayu.
Kata-kata yang tidak baru pun dapat dirunut berdasarkan historisnya sebagai
kata-kata yang menunjukkan perkembangan suatu bahasa. Dalam bahasa Indonesia,
misalnya, dapat diyakini bahwa kata-kata analisis,
metode, konvensi, operasi, distribusi, konkret, dan lain-lain merupakan
kata-kata yang berasal dari bahasa asing (bahasa Inggris atau bahasa Belanda).
Dalam perkembangannya, unsur-unsur yang merupakan wujud perkembangan itu tidak
lagi disadari oleh penuturnya. Kata data,
misalnya, yang dari pola suku katanya sangat dekat atau sama dengan suku bahasa
Indonesia, mungkin tidak lagi disedari sebagai unsur yang berasal dari bahasa
asing jik penuturnya itu tidak mengerti bahasa Inggris atau bahasa Latin.
Bahasa-bahasa
yang kita kenal sekarang ini semuanya mengalami perubahan. Kata-kata baru hamburger, hotdog, pizza, survay, riset, masuk
ke dalam bahasa Indonesia; kata-kata yang sudah mati: mangkus, sangkil, piawai, peringkat, dihidpukan lagi. Bentuk baru
menggantikan bentukan lama: pelatihan menggantikan
latih, simpulan menggantikan kesimpulan.
8.
Produktif atau Kreatif
Sebenarnya,
karakter ini berangkat dari pemakainya. Pemakai bahasa, dengan pola-pola dan
lambang-lambang yang terbatas dapat mengkreasi hal-hal baru (new world) melalui bahasa. Dengan
konstruksi posesif dalam satuan frase, misalnya, penuturan bahasa Indonesia
dapat menciptakan frase-frase berikut dan dapat melanjutkannya secara tak
terbatas.
Buku saya
Rumah teman
Teman anda
Teman adik saya
Kridalaksana
(dalam kentjono(ed.),1982) mengartikan produktivitas itu dari perbandingan
unsur dan daya pemakaiannya. Dari unsur-unsur yang terbatas, bahasa dapat
dipakai secara tidak terbatas oleh pemakainya. Bahasa Indonesia memiliki 30
fonem, tetapi kata-kata yang diciptakan dengan 30 fonem itu berjumlah lebih
dari 30.000 buah. Dengan fonem-fonem itu pula masih sangat mungkin diciptakan
kata-kata baru. Dengan tiga tipe kalimat, yakni tipe kalimat berita, kalimat
tanya, kalimat seru, dapat direproduksi kalimat-kalimat bahasa Indonesia yang
jumlahnya tidak anak terbatas.
9.
Merupakan Fenomena Sosial
Bahasa itu merupakan fenomena
sosial. Kita tidak dapat memisahkan bahsa dari kebudayaan, sebab hubungan
antara keduanya sangat erat. Bahas itu sudah menyatu benar dangan orang yang
menggunakan dan memilikinya. Karena bahasa itu berkembang sesuai dengan
kebutuhan dan karakteristik kebudayaan, maka setiap bahasa merefleksikan
kebudayaan masyarakat pemakainya. Bahasa itu merupakan bagian dari sistem
nilai, kebiasaan, dan keyakinan yang kompleks yang membentuk suatu kebudayaan.
Semua kebudayaan mempunya
konvensi. Cara berperilaku, berpakaian, duduk, makan, berbicara, meminang, dan
sebagainya mengikuti konvensi. Ada tata cara yang disepakati dan dibakukan.
Karena bahasa pun merupakan salah satu bentuk periaku, maka mudahlah dipahamin
bahwa bahasa pun merupakan konvensi. Bahasa digunakan sesuai dengan standar
yang disepakati dan diikuti bersama oleh kelompok masyarakat tertentu.
10.
Bersipat Insani
Hanya manusialah yang
mempunyaikemampuan berbahasa. Memang, ada berbagi spesis, seperti ikan dolpin,
yang dikenal memili sistem komunikasi yang sangat canggih. Namun,
ketidakmampuannya menggunakan lambang-lambang bahasa untuk menyatakan
pikirannya. Bahasa merupakan sesuatu aspek perilaku yang bisa dipelajari hanya
oleh manusia. Bahasa menumbuhkembangkan kemampuan manusia untuk berkomunikasi
dan menempatkan peradabannya jauh diatas berbagai bentuk kehidupan makhluk
hidup yang lebih rendah.